DETEKSI.co-Batam, Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam resmi mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Batam yang melepas terdakwa Friska Doloksaribu dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) dalam perkara dugaan penipuan Rp 100 juta.
Upaya hukum ini ditempuh setelah dua putusan pengadilan yang dinilai terlalu longgar terhadap pelaku penipuan. “Memori kasasi sudah saya serahkan ke Pengadilan Negeri Batam,” ujar Jaksa Penuntut Umum, Aditya Otavian, di kantor Kejari Batam, Jumat (14/11/2025).
Pada putusan 29 Oktober 2025, majelis hakim yang dipimpin Feri Irawan menyatakan Friska terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan jaksa, tetapi dianggap bukan tindak pidana. Hakim kemudian melepaskannya dari segala tuntutan dan memulihkan hak-haknya.
Bagi jaksa, putusan itu keliru secara mendasar. Mereka menilai majelis hakim tidak cermat melihat rangkaian tindakan Friska yang disebut sebagai pola penipuan sistematis.
“Ini bukan sengketa perdata seperti yang dinilai majelis. Sejak awal, perbuatan terdakwa merupakan rangkaian tipu muslihat untuk mengambil uang korban,” tegas Aditya.
Ia menambahkan, dari tahap perjanjian hingga pengambilan sertifikat ruko milik korban, Friska telah menunjukkan itikad buruk.
Dalam memori kasasi, jaksa menilai majelis hakim salah menerapkan hukum karena mengabaikan unsur melawan hukum dan menyetarakan rangkaian penipuan sebagai hubungan perdata. Jaksa memaparkan bahwa Friska meminjam uang Rp 100 juta dengan janji mengurus sertifikat ruko yang disebut akan disewa Indomaret. Ia juga menjanjikan keuntungan Rp 15 juta. Untuk meyakinkan korban, Friska menyerahkan dua sertifikat sebagai jaminan.
Namun, sertifikat tersebut kemudian diambil kembali melalui skema petugas koperasi palsu dan digadaikan untuk kredit Rp 350 juta. “Sertifikat itu dia ambil menggunakan kebohongan, lalu dipakai untuk pinjaman pribadi. Jika itu tidak dianggap sebagai tipu muslihat, lalu apa?” kata Aditya.
Ia menegaskan bahwa uang korban tidak pernah dikembalikan, perjanjian hanya dijadikan kamuflase, dan sertifikat disalahgunakan semuanya menunjukkan niat jahat sejak awal.
Jaksa juga menuliskan bahwa perbuatan Friska memenuhi unsur Pasal 378 KUHP tentang penipuan, bukan wanprestasi. Selain itu, majelis hakim dinilai mengabaikan yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat dengan itikad buruk merupakan tindak pidana, bukan sekadar sengketa perdata. Di antaranya Putusan MA No. 4/Yur/Pid/2018 dan No. 1600 K/Pid/2009.
“Seluruh argumentasi dan dasar hukum telah kami jelaskan dalam memori kasasi. Kami meminta MA membatalkan putusan onslag dan menjatuhkan pidana dua tahun sesuai tuntutan,” ujar Aditya.
Kasasi ini diajukan setelah dua putusan perkara penipuan di PN Batam yang memantik tanda tanya publik. Pada Selasa (28/10/2025), terdakwa penipuan jual beli mobil, Mariano Juan Sahetapy alias Adek, divonis lima bulan empat hari, jauh di bawah tuntutan dua tahun. Sehari setelahnya, Friska dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Batam, Priandi Firdaus, juga angkat bicara. “Kami mengajukan kasasi. Amar putusan tidak sesuai fakta persidangan,” ujarnya.
Sejumlah pengamat hukum menilai dua putusan tersebut memberi sinyal negatif, seolah menunjukkan praktik ‘diskon keadilan’ di ruang sidang. Jika tindakan penipuan yang terang-terangan dianggap sebagai perdata, batas antara pidana dan perdata menjadi kabur, dan pelaku dapat berlindung di balik perjanjian formal.
“Kalau begini, hukum pidana kita kehilangan gigi,” kata seorang pengamat hukum di Batam.
Kini perhatian publik tertuju pada Mahkamah Agung. Kasasi jaksa bukan sekadar koreksi putusan, tetapi menjadi ujian wibawa peradilan di Batam.
Seperti ditutup Aditya dalam memori kasasinya, langkah ini merupakan “upaya mengembalikan marwah hukum yang telah diredam oleh kesalahan penerapan hukum di tingkat pertama”. (Hendra S)














