Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)
Kondisi sosial ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia saat ini, dalam keadaan tidak baik. Betapa banyak masalah yang tak kunjung usai. Muncul lagi masalah baru yang berpotensi melibatkan negara-negara di dunia.
Terutama Indonesia, kebijakan seputar kelautan dan perikanan sangat naif yang diakibatkan oleh regulasi – regulasi tidak pro pada masyarakat pesisir. Alih-alih meningkatkan ekonomi, malah menyulitkan putaran ekonomi perikanan.
Potensi resesi kelautan dan perikanan sangat mungkin terjadi. “Kalau kita evaluasi dalam dua tahun terakhir ini, sosial ekonomi perikanan mengalami kondisi stagnan sehingga berdampak pada memburuk pendapatan masyarakat. Potensi resesi sangat mungkin terjadi.”
Data Badan Pusat Statistik tahun 2020 triwulan II pertumbuhan hanya pada angka 0,36 persen dan triwulan III terkontraksi 1,03 persen. Hanya bertaut beberapa persen saja. Tentu, kondisinya sangat memburuk dan prihatin. Meskipun pertumbuhan ekonomi triwulan II – 2021 capai 7,07%.
“Namun, belum ada tanda – tanda aktivitas ekonomi perikanan menggeliat. Salah satu faktornya adalah terbitnya berbagai regulasi yang menyulitkan masyarakat pesisir: nelayan, pembudidaya dan petani garam. Terutama pada regulasi PNBP PP 85 tahun 2021.”
Mestinya sadari lebih awal, bahwa selama pandemi, sektor kelautan perikanan sudah nampak berat dan serba sulit. Walaupun pemerintah hadirkan investasi Shrimp estate dibeberapa wilayah Indonesia. Tetapi, belum bisa memulihkan kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir.
“Malahan memunculkan banyak masalah, seperti pelanggaran terhadap reforma agraria yang membuat masyarakat pesisir kehilangan tanah. Apalagi sudah mulai terjadi deforestasi lahan – lahan pesisir laut yang menyebabkan hilangnya hutan mangrove.”
Pemerintah berupaya menggenjot investasi dan ekspor. Supaya ekonomi kelautan membaik dan kesejahteraan nelayan meningkat. Namun, kebijakan yang diambil kerapkali menimbulkan polemik dan konflik antar masyarakat pesisir. Misalnya regulasi PNBP naik 400% maupun tumpang tindihnya regulasi penataan ruang laut pesisir.
Terbitnya beraneka ragam regulasi dalam bentuk PP, Kepmen, Permen, Insmen, dan peraturan teknis lainnya sebagai turunan UU Cipta Kerja No 11/2021 membuat banyak pihak kesulitan dalam berusaha dan beraktivitas. Cilakanya ada pula aturan bertentangan dengan UU sektoralnya, seperti peraturan PNBP dan penataan ruang laut pesisir.
“Menurunnya daya serap pasar terhadap produk hasil perikanan, lemahnya etos tenaga kerja sangat rendah, manajemen koperasi perikanan alami pelemahan, dan minimnya hasil ekspor perikanan. Perhatian pemerintah masih minim, tidak bisa tangkap peluang pemulihan ekonomi pada subsektor kelautan dan perikanan.”
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak memiliki kepekaan untuk ciptakan lapangan pekerjaan di tengah situasi seperti sekarang. Walaupun banyak program strategis seperti shrimp estate. Tetapi belum bisa dimanfaatkan untuk saat ini sebagai andalan strategi pemulihan ekonomi sosial perikanan. Karena investasi shrimp estate bisa berjalan pasca 2025 nanti.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) anggap food estate (FE) dan shrimp estate (SE) program pemulihan. Namun, program tersebut, tak bisa intervensi problem sosial ekonomi kelautan dan perikanan dari hulu ke hilir. Program yang dicanangkan itu sangat parsial dan tidak memiliki kejelasan investasi, sehingga tidak akan memberi manfaat kesejahteraan bagi masyarakat pesisir.
Pemerintah perlu evaluasi seluruh program dan regulasi yang sudah diterbitkan sehingga bisa menjadi signifikan bagi upaya pemulihan sektor perikanan. Perlu juga menyadari kondisi selama dua tahun pandemi covid, aktivitas masyarakat pesisir pun nyaris lumpuh, meski pemerintah telah menggelontorkan ragam bantuan sosial dan afirmasi kebijakan program. Kenyataannya belum pulih. Bahkan melemah.
Kinerja kelautan dan perikanan mengalami pasang surut. Cenderung melemah dan mengalami stagnasi. Kita bisa analisis dari beberapa lembaga yang mengeluarkan hasil risetnya menandakan sektor kelautan dan perikanan melemah.
Badan Pusat Statistik (BPS, 2021) merilis pertumbuhan ekonomi sektor perikanan triwulan II – 2021 mencapai 9,06%. Angkanya lebih tinggi ketimbang triwulan yang sama 2021 sebesar 6,41%. Produk domestik bruto (PDB) perikanan berdasarkan harga konstan 2010 triwulan I-2021 sebesar Rp 63.649,9 miliar, turun dibandingkan periode sama 2020 sebesar Rp 64.494,5 miliar.
Produk Bomestik Bruto (PDB) nasional tumbuh 7,07 secara tahunan (year on year /yoy) pada kuartal II-2021. Realisasi ini menjadi yang tertinggi sejak kuartal IV-2021. Tercatat pada periode April-Juni 2021, ekspor tumbuh sebesar 31,78 persen yoy, didukung oleh kenaikan permintaan negara mitra dagang utama. Kemudian, konsumsi rumah tangga untuk pertama kalinya tercatat tumbuh positif sejak kuartal II-2020 sebesar 5,93 persen yoy, jauh membaik dari kinerja kuartal I-2021 -2,22 persen yoy.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi nasional pada triwulan II-2021 mengalami pertumbuhan 7,07% dari triwulan II-2020 (yoy). Dalam capaian tersebut, usaha perikanan termasuk sektor yang mengalami pertumbuhan signifikan. Sementara itu, PDB perikanan sepanjang triwulan II-2021 sebesar Rp 67.729.80 miliar, naik dibanding triwulan II-2020 sebesar Rp 61.748,40 miliar (BPS, 2021).
Hanya saja, kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional hanya 2,83% (BPS, 2021). Artinya, stagnan dan tidak mengalami perubahan signifikan. Sektor perikanan menunjukkan kenaikan sebesar 9,69% pada kuartal kedua 2021 meski dalam masa pandemi. Kenaikan dipicu meningkatnya produksi perikanan budidaya dan perikanan tangkap karena cuaca yang mendukung.
Adapun data BPS menyebutkan, nilai produk domestik bruto (PDB) perikanan pada triwulan II sebesar Rp 188 triliun atau 2,83% terhadap nilai PDB nasional. Nilai PDB tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan triwulan I sebesar Rp 109,9 triliun atau 2,77% terhadap nilai PDB nasional. Pertumbuhan ini telah menyebabkan nilai PDB riil pada triwulan II telah melampaui nilai PDB riil pada triwulan IV 2019, sebelum terjadinya pandemi Covid-19.
Sementara, laporan Bank Indonesia (BI, 2021) tentang hasil survei kegiatan dunia usaha triwulan II-2021 terjadi akselerasi ketimbang triwulan I-2021. Indikatornya pada nilai saldo bersih tertimbang (SBT) melonjak dari -0,1% triwulan I-2021 menjadi 0,17% triwulan II-2021. Namun, Bank Indonesia (BI, 2021) juga perkirakan nilai SBT bakal turun lagi sebesar -0,06% triwulan III-2021 akibat Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat hingga PPKM level 3 dan 4 di wilayah Jawa-Bali hingga saat ini.
Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM, 2021) merilis data bahwa sektor usaha UMKM yang paling terdampak Covid-19 antara lain 35,88 persen penyedia akomodasi dan makanan minuman, kemudian 23,33 persen pedagang besar dan eceran, serta 17,83 persen industri pengolahan kelautan dan perikanan. Artinya, terjadi penurunan yang sangat drastis dari 2,83% menjadi 0,17% akhir tahun 2021 ini.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM, 2021) melaporkan bahwa investasi penanaman modal asing (PMA) sektor perikanan sepanjang triwulan I dan II-2021 stagnan di angka US$ 5,2 juta atau setara Rp 72,8 miliar. Angka ini jauh dibandingkan triwulan I-2020 sebesar US$ 34,7 juta dan triwulan II-2020 sebesar US$ 65 juta.
Pada triwulan II- 2021, Kapasitas Produksi Terpakai (KPT) perikanan 76,58%, lebih tinggi ketimbang triwulan II-2020 sebesar 66,39%. Angka ini mengindikasikan industri perikanan nasional tak dihantui krisis bahan baku ikan. Begitu pula SBT tenaga kerja perikanan triwulan II-2021 sebesar -0,06%, lebih tinggi dibandingkan periode sama 2020 sebesar -0,26%.
Nilai ini diperkirakan turun hingga triwulan III-2021 sebesar -0,18%. Berarti penggunaan tenaga kerja sektor perikanan hingga triwulan II-2021 diperkirakan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga sektor perikanan prediksi turun drastis dan terjadi pengangguran.
Kemudian, analisis tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir diukur dari Nilai Tukar Nelayan (NTN) sebesar 104,38 dibanding periode sama 2020 sebesar 98,80. Sementara, NTPi, triwulan II-2021 sebesar 102,54, juga melonjak drastis dari 99,55 dalam periode sama 2020.
Padahal, negara tujuan ekspor komoditas perikanan seperti Amerika Serikat (AS) yang bukukan transaksi sebesar USD 1,1 miliar (44,4%) dari total nilai ekspor. Disusul Tiongkok sebesar USD 382,9 juta (14,8%) dari nilai ekspor total dan Jepang sebesar USD 278,9 juta (10,8%). Kemudian negara – negara ASEAN sebesar USD 270,1 juta (10,4%), Uni Eropa sebesar USD 132,0 juta (5,1%), dan Australia sebesar USD 55,2 juta (2,1%).
Sementara, Nilai ekspor komoditas Udang mencapai USD 1 miliar atau 40,1% terhadap total nilai ekspor. Kemudian, Tuna, Cakalang, Tongkol sebesar USD 334,7 juta (12,9%), Cumi, Sotong, Gurita sebesar USD 268,6 juta (10,4%), Rajungan, Kepiting sebesar USD 256,6 juta (9,9%), Rumput Laut sebesar USD 144,6 juta (5,6%) dan Layur sebesar USD 44,2 juta (1,7%).
Kemudian, menurut koran tempo, 2021 per Agustus bahwa ekspor kategori ikan layur (13,37%), kerapu (19,77%), ikan hias (22,49%), lobster (24,87%), baraccuda (27,28%), bulu babi (29,21%), kakap Merah (31,56%), mutiara (37,61%), ubur – ubur (39,55%), ikan pari (43,86%), sirip hiu (70,51 %), sea bream (150,10%), cobia (159,98%) dan ikan pipil (43,56%).
Padahal menurut data ITC, 2021 Per November bahwa kontribusi terbesar ekspor perikanan Indonesia triwulan II-2021 tetap didominasi udang, tuna, tongkol, cakalang dan mengalami penurunan drastis sehingga volume triwulan II-2020 hanya 12,20% dibandingkan triwulan II- 2020. Begitu pula ekspor udang triwulan II-2021 turun 2,36 % dibandingkan triwulan II-2020
Namun, data yang disuguhkan diatas sangat kontra produktif dengan hasil Peneriman Negara bukan pajak (PNBP) hingga Juli – November 2021 ini, baru capai Rp 324,79 miliar (33,93%) dari target dalam APBN 2021 sebesar Rp 957,19 miliar. PNBP perikanan hingga November 2020 capaiannya Rp 358,50 miliar (39,82%) dari target APBN 2020 sebesar Rp 900,4 miliar.
Artinya, tidak seimbang dan tidak cocok sama sekali antara nilai ekspor, NTN, NTPi dan PNBP yang dicapai. Logikanya tak masuk akal. Berarti peraturan PP No 85 tahun 2021 tentang kenaikan PNBP tidak berdampak sama sekali akan pertambahan nilai pemasukan pendapatan bukan pajak maupun kesejahteraan masyarakat pesisir.
Data Kemenkeu, 2021 bahwa pertumbuhan PNBP sangat negatif -8,65% dibandingkan hingga Juli 2020 sebesar 25,7%. Artinya, PNBP perikanan tidak optimal dan semakin merosot. Justru menariknya, investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) justr u melonjak 58,98%, dari Rp 191,4 miliar (triwulan I-2021) naik menjadi Rp 415,9 miliar (triwulan II-2021).
Faktanya, tidak selalu positif karena investasi domestik jauh lebih ketimbang asing. Setidaknya: penelitian Wiradana et al (2021) bahwa transportasi laut yang berperan dalam rantai pasok (supply chain) mengalami penurunan ekspor dan impor kargo hingga 14-18% ke Tiongkok, Singapura dan Korea Selatan selama pandemi Covid-19. Otomatis rantai pasok ekspor maupun impor barang dan jasa kelautan terganggu.
Berarti, apapun bentuk kebijakan pemerintah untuk menyusun strategi pemulihan. Nampaknya tidak memiliki efek signifikan. Pemerintah kucurkan dana bantuan sebesar Rp123,46 triliun. Dana bantuan terdiri dari subsidi bunga Rp35,28 triliun, dana restrukturisasi Rp78,78 triliun, belanja Imbal Jasa Penjaminan (IJP) Rp5 triliun, jaminan modal kerja Rp1 triliun, PPh final ditanggung pemerintah Rp2,4 triliun, dan pembiayaan investasi kepada koperasi lewat Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kemenkop UKM Rp1 triliun.
Data kemenkop UKM, 2021 mencatat penyaluran beragam dana bantuan pada 7 Oktober 2020 hingga Oktober 2021 yakni penyaluran subsidi bunga telah terrealisasi sebesar Rp3,69 triliun, kemudian realisasi penempatan dana untuk rerstrukturisasi capai Rp78,78 triliun, realisasi belanja IJP capai Rp52,94 miliar. Kemudian, realisasi PPh final sebesar Rp410 miliar dan realisasi pembiayaan investasi kepada koperasi sebesar Rp1 triliun.
Banpres tahap awal dianggarkan sebesar Rp22 triliun kepada 9,1 juta pelaku usaha mikro, sedangkan untuk tahap lanjutan dianggarkan menjadi Rp28,8 triliun bagi 12 juta pelaku usaha. Realisasi bantuan tersebut sebagaimana tercatat per 6 Oktober 2020 telah tersalurkan sebesar Rp21,86 triliun atau hampir 100 persen kepada 9,1 juta pelaku usaha mikro hingga saat ini Oktober 2021.
Selama pandemi kinerja kegiatan usaha berimbas terhadap kapasitas produksi terpakai (KPT) dan penggunaan tenaga kerja (PTK) sektor perikanan. Pemerintah hingga saat ini, masih sibuk berlakukan PPKM Level 1 – 4 khusus Jawa – Bali, artinya permintaan komoditas hasil sektor kelautan perikanan di pasar internasional maupun lokal bakal menurun dan mempengaruhi demand serta pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Upaya habis-habisan pemerintah dalam memulihkan sektor perikanan ini, tak menemukan solusi yang baik. Padahal kelautan dan perikanan salah satu pilar ekonomi nasional yang sangat penting. Sayangnya di masa krisis pandemi Covid-19, kali ini sektor perikanan: PDB, NTN, NTPi, UMKM, IKM Koperasi dan bantuan modal khusus perikanan tak bisa diangkat dan sangat terpukul.
Tumbangnya kelautan – perikanan dalam krisis kali ini dikarenakan pandemi Covid-19 telah menghajar sisi suplai dan demand, sehingga membuat sektor ini terpojok dan tidak berdaya dalam membantu pemulihan ekonomi nasional. Namun, Kementerian Kelautan – Perikanan selalu menyampaikan data – data diluar rasionalitas dan fakta lapangan.
Dari sisi suplai, permasalahan yang dihadapi sektor kelautan – perikanan, yakni produksi dan distribusi yang terhambat dan sulitnya mengakses tambahan permodalan. Sedangkan, permintaan, pembatasan aktivitas dan kekhawatiran masyarakat atas penularan Covid-19 yang begitu masif menjadi faktor utama penurunan permintaan konsumen atas produk-produk hasil olahan perikanan.
Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga alami kegagalan dalam menekan kerusakan lingkungan. Dampak terhadap masyarakat pesisir sangat rentan terhadap berbagai ancaman pencemaran baik yang berasal dari aktivitas investasi, deforestasi, domestik (marine debris), industri (pengolahan perikanan), perhubungan laut seperti tumpahan minyak (oil spill), banjir, maupun aktivitas lainnya.
Pencemaran ini akibatkan dampak buruk yang menyebabkan kerusakan masyarakat pesisir sehingga berbahaya bagi kesehatan, sosial ekonomi dan pendapatan maupun pencemaran lingkungan.
Menurut data The Global Change Institute and The Boston Consulting Group (2015), nilai aset kelautan dunia capai 24 triliun dollar AS yang terdiri dari potensi yang diambil langsung dari perikanan, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun sekitar 6,9 triliun dollar AS, transportasi laut 5,2 triliun dollar AS, penyerapan karbon 4,3 triliun dollar AS, dan jasa lain 7,8 triliun dollar AS. Hampir dua pertiga produk kelautan tersebut bergantung pada laut yang sehat.
Sementara FAO merilis data tahun 2021 bahwa sekitar 90 persen stok perikanan dunia dalam kondisi mengkhawatirkan: 61 persen sudah mengalami tangkap penuh (fully exploited) dan 29 persen sisanya tangkap lebih (over exploited). Begitu pula tingkat kerusakan mangrove 3-5 kali dari laju deforestasi. Sekitar 29 persen padang lamun juga telah rusak. Begitu pula kerusakan terumbu karang dunia mencapai 50 persen; dan pada 2050, dengan kenaikan suhu seperti saat ini, terumbu karang akan musnah.
Saat ini, bagi pemerintah, berarti harus lakukan konservasi 31 juta hektar diseluruh wilayah pesisir. Sementara, target Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam program penanaman mangrove hanya berkisar 15 juta hektar. Namun, target tersebut jauh panggang dari api. Untuk mencapai target tersebut saja, sangat susah.
Kegagalan demi kegagalan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu menjadi atensi semua pihak. Jelas, tergantung pada pemimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mampu atau tidak?. Kalau menghitung waktu kedepan, serasa tidak akan mampu untuk bekerja lebih baik dalam perbaikan sektor – sektor kelautan dan perikanan.