DETEKSI.co – Medan, Tim independen yang tergabung dalam Forum LSM Sumut telah melakukan investigasi terkait persoalan yang terjadi di Desa Natumingka Kecamatan Borbor Kabupaten Toba dari tanggal 20-22 Juni lalu. Termasuk desa-desa di sekitarnya seperti Desa Parsoburan Barat Dusun Tungkonisolu, Desa Simare Dusun Na Tinggir dan Desa Lintong.
Investigasi itu dilakukan terkait pro dan kontra masyarakat terhadap PT Toba Pulp Lestari (TPL) terlebih terkait lahan Konsesi yang dikelola TPL tapi diklaim masyarakat sebagai tanah ulayat. Berbagai penyebab ditemukan tim mengapa masyarakat bisa berbenturan dengan pihak PT TPL.
Hal itu akibat adanya kepentingan beberapa kelompok yang sengaja membenturkan masyarakat dengan PT TPL. Pola pemikiran dan ketidakpahaman masyarakat terhadap apa yang terjadi telah dimanfaatkan kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab.
Tim independen ini terdiri dari Badia Tampubolon, Juliater Lubis, Togang Sitorus, Hubert Nainggolan dan Dani Manik. Mereka terdiri dari pengurus berbagai LSM yang bergabung dan menamakan Forum LSM Sumut. Mereka menyampaikan hasil rangkuman investigasi mereka kepada wartawan, Minggu (8/8) di Medan. Narasumber yang mereka himpun adalah, Camat Borbor, James Pasaribu, Kepala Desa Natumingka, Kastro Simanjuntak, salah satu warga desa Natumingka N Simanjuntak, Masden Tinambunan sebagai Ketua Kelompok Tani Desa Sionom Hudon, Pinus Sitanggang sebagai Ketua Kelompok Tani Huta Marsada Bintang Meriah Desa Simataniari, Sahat Panjaitan dan lainnya.
Berdasarkan investigasi dilakukan di Desa Natumingka, ada kelompok masyarakat desa menuntut tanah adat/ulayat seluas 2.409,7 Ha. Luasan tanah adat tersebut diklaim milik masyarakat Desa Natumingka keturunan Op Punduraham dan 4 dusun yang ada di sekitar Natumingka yaitu Dusun Golat, Dusun Huta Bagasan, Dusun Huta Ginjang dan Dusun Simpang III. Masyarakat mengklaim berdasarkan bukti-bukti yang mereka miliki seperti batas-batas alam dan adanya kuburan-kuburan leluhur mereka. Dengan bukti-bukti sejarah leluhur inilah masyarakat menyatakan tanah itu sah milik mereka. Klaim masyarakat desa Natumingka keturunan Op Punduraham inilah memicu terjadinya insiden tanggal 18 Mei 2021 yakni bentrokan antara masyarakat dengan pihak TPL yang bermaksud menanam kembali eucalyptus di areal yang disebut sebagai tanah ulayat mereka. Bahkan di desa Natumingka sendiri sudah terjadi pro dan kontra terhadap PT TPL walaupun mereka masih dalam satu keturunan.
Keterangan yang diperoleh tim dari berbagai sumber masyarakat sekitar desa yang berdampingan dengan desa Natumingka menyebutkan, persoalan ini muncul setelah ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 “Tentang Hutan Adat dan Hutan Hak “. Dasar ini mereka pakai untuk melegalkan tuntutan mereka, walau mekanismenya tidak dimiliki dan diketahui sama sekali.
Sementara kilas balik, sejak awal berdirinya PT TPL tidak ada tuntutan seperti yang dimaksud, bahkan sejak periode tanam 1 tahun 1990/1991 sampai dengan periode tanam ke 5 tahun 2018 tidak pernah muncul tuntutan masyarakat desa Natumingka mengenai tanah adat mereka. Namun setelah masuk masa tanam periode ke 6 tahun 2021 barulah semakin kuat tuntutan tersebut.
Tim independen melihat tuntutan masyarakat desa Natumingka sudah tidak murni lagi, hal ini disimpulkan setelah turun mendengar keberadaan salah satu Komunitas/LSM di dalam tuntutan masyarakat itu. Keberadaan Komunitas atau LSM ini dinilai tidak rasional dalam melakukan dukungan gerakan menuntut tanah adat karena tidak memiliki bukti-bukti sejarah yang otentik serta perlakuan hukum adat berkesinambungan yang berlaku di dalam struktur masyarakat itu sendiri.
Bahkan gerakan tersebut baru dua tahun ini diperjuangkan. Sehingga tim merasakan gerakan lembaga/LSM ini memiliki agenda-agenda terselubung dibalik tuntutan masyarakat Natumingka.
Akhirnya, tim menyimpulkan, bahwa masyarakat desa Natumingka tidak memiliki acuan atau data-data pendukung untuk mengkalim bahwa lahan Konsesi itu adalah tanah adat/ulayat. Masyarakat hanya mengacu terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P 21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 “Tentang Hutan Adat dan Hutan Hak “ yang mendorong masyarakat jadi terinspirasi untuk menuntut. Tanah yang diklaim masyarakat desa Natumingka keturunan Op Punduraham Simanjuntak seluas 2.409,7 hektar berada dalam Kawasan Hutan Lindung Toba Habinsaran atau Hutan Register 79. Pada awalnya masyarakat desa Natumingka murni memperjuangkan tanah adat, namun setelah adanya provokasi pihak tertentu mulailah dihembuskan tuntutan agar PT TPL ditutup.
Masyarakat Desa Natumingka meminta agar semua pihak menahan diri terkait lahan yang dianggap status quo melalui kesepakatan Pemkab Toba beserta Kepala Desa. Mereka diminta untuk tidak menanami eucalyptus sampai adanya keputusan terkait status lahan tersebut. Sementara kawasan yang diklaim masyarakat Desa Natumingka adalah lahan Konsesi yang diberikan Pemerintah hak pengelolaannya kepada PT TPL berdasarkan SK Menhut No. 236/Kpts-IV/1984 dan SK No. 493/Kpts-II/1992 jo SK No. 307/MENLHK/SETJEN/HPL.0/7/2020 tanggal 28 Juli 2020 dengan status Hutan Produksi.
Masyarakat di desa Natumingka sejak di advokasi oleh salah satu Komunitas di sana, mulailah muncul tuntutan pelepasan tanah adat keturunan Op.Punduraham. Sementara selama 5 periode tanam (RKT 1990/1991 periode tanam 1 – RKT 2003/2004 periode tanam 2 – RKT 2009 periode tanam 3 – RKT 2014 periode tanam 4 – RKT 2018 periode tanam 5) tidak ada klaim masyarakat Desa Natumingka atas lahan konsesi tersebut. Namun sejak RKT 2021 periode tanam ke 6 baru muncul klaim tanah adat oleh pomparan Op Punduraham.
Bahwa memang ada pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja memutar balikkan fakta di medsos tentang pembongkaran makam leluhur di desa Natumingka. Padahal kenyataannya, masyarakat sendiri bersama raja adat desa, disaksikan oleh salah satu Komunitas/LSM membongkar makam leluhur mereka sendiri lalu memindahkannya ke tempat yang lebih layak.
Dari hasil wawancara tim independen dengan beberapa tokoh masyarakat maupun ketua kelompok tani di sekitar Kawasan Lahan Konsesi PT TPL, masyarakat banyak terbantu baik melalui KTH, bantuan CSR, bantuan bibit kemenyan, kopi, cabai, jagung juga tanaman tumpang sari lainnya yang hasilnya bisa dinikmati masyarakat.
Tim independen ini melihat, ada Komunitas/LSM tersebut memanfaatkan situasi di desa Natumingka yang memiliki misi lain dibalik agenda tuntutan masyarakat adat, yang mengatakan masyarakat Desa Natumingka sebenarnya adalah korban PT TPL. Tim telah melihat langsung dan mendokumentasikan secara audio visual semua kontribusi PT TPL di berbagai desa dan dusun yang ada di daerah kawasan Hutan Tanaman Industri. “ Tidak ada perusakan lingkungan dan penyerobotan lahan oleh PT TPL tetapi yang kami saksikan sendiri adalah penanaman kembali eucalyptus sebagai tanaman industri dan PT TPL mengelola di atas lahan konsesi mereka sebagaimana hak pengelola,” kata Badia Tampubolon.
Tim menyarankan agar PT TPL tetap menjalin kerjasama dengan masyarakat untuk mengelola lahan warga dan lahan Konsesi yang sifatnya menguntungkan masyarakat. Perusahaan supaya menyalurkan CSR secara proporsional untuk peningkatan ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat desa Natumingka. “Memberikan edukasi kepada masyarakat secara aktif dengan melibatkan pemerintah daerah maupun pusat, terutama tentang peraturan-peraturan yang menyangkut tanah adat. Melakukan sosialisasi secara langsung maupun melalui media tentang keberadaan perusahaan dengan dampak positifnya kepada peningkatan ekonomi masyarakat,” terang Tampubolon.
Selain menjalin kerjasama dalam pengelolaan lahan masyarakat, tim juga menyarankan agar perusahaan memperbanyak ruang bagi tenaga BHL (Buruh Harian Lepas) untuk penduduk lokal. Kebijakan PT TPL dalam pemberian dana CSR yang diambil dari 1% Net Sale sudah sangat tepat dan sangat besar jumlahnya, sehingga akan mampu membantu mensejahterahkan masyarakat sekitar perusahaan. Agar pihak-pihak lain tidak melakukan provokasi, sehingga terjalin hubungan baik masyarakat dan perusahaan tetap terjaga.
Kepada pihak-pihak yang menyuarakan tuntutan tanah adat, penyampaiannya agar dilakukan secara prosedural kepada pemerintah, bukan mengganggu iklim investasi yang dilakukan PT TPL. Pemerintah diminta agar menjamin keamanan dan kepastian hukum dalam berinvestasi di kawasan lahan Konsesi yang dikelola PT TPL.
Tim lainnya di luar Desa Natumingka diketuai Dani Manik mengatakan, bahwa yang melatar belakangi tim lakukan investigasi adalah, sebagai putera Batak ingin memberikan sumbangsih kepada pemerintah agar dapat melakukan upaya kebijakan yang tepat dalam mengatasi permasalahan yang terjadi antara PT TPL dengan masyarakat tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pihak lain.
“Kami tidak rela akibat permasahan tersebut jadi menimbulkan rusaknya sosial budaya adat Batak Dalihan Natolu yaitu: Somba Marhula-hula, Elek Marboru, Manat Mardongan Tubu. Falsafah ini sudah ternodai di Toba akibat permasalahan tersebut. Kami mendukung upaya pemerintah lewat SK Menhut No 352 tahun 2021 yang membentuk tim terdiri dari berbagai unsur. Kami mengusulkan agar kami dilibatkan di lapangan sebagai penyeimbang, karena tim kami objektif tanpa dipengaruhi kepentingan pihak-pihak lain,” tutur Dani Manik. (trs)