Tolak PT DPM, Masyarakat Dairi Aksi Teatrikal Mangandung

Dicegah aksi ke ibu kota Kabupaten Dairi, warga menggelar aksi teatrikal menolak PT DPM, di lapangan Parongil, Kamis 29 April 2021 (Foto: Deteksi.co/dok Rohani Manalu YPDK)
Deteksi.co-Dairi, Prihatin akan potensi bahaya dan keberlangsungan tanah mereka karena kehadiran PT Dairi Prima Mineral (PT DPM), masyarakat melakukan aksi teatrikal “mangandung” (meratap, menangis).
Aksi sebagai penyampaian aspirasi penolakan kehadiran PT DPM, dilaksanakan di lapangan sepakbola Parongil, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, Kamis 29 April 2021.
Boru Tambunan, perwakilan masyarakat dari Desa Lae Panginuman, Kecamatan Silima Pungga-pungga, “mangandung” pada aksi teatrikal menolak PT DPM, Kamis 29 April 2021 (Foto: Deteksi.co/tangkapan layar akun facebook Sarah Naibaho, diakones YPDK)

Dalam aksi itu, masyarakat Silima Pungga-Pungga didampingi aliansi organisasi masyarakat serta sekretariat bersama advokasi tolak tambang yaitu Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YPDK), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

“Lao do hami tu pamarenta nami, laho paboahon holso ni roha nami. Alai gabe dongan ni pengusaha do ho. Haccit nai. (Pergi nya kami ke pihak pemerintah, untuk menyampaikan keluhan kami. Tetapi, pengusahanya engkau (pemerintah) temani. Sakit sekali),” ratap boru Tambunan, perwakilan masyarakat dari Desa Lae Panginuman, Kecamatan Silima Pungga-pungga, dikutip dari tayangan video di akun facebook Sarah Naibaho, diakones dari YPDK.
Aksi teatrikal dimaksud dilaksanakan di tanah lapang Parongil, karena mereka tidak berhasil melaksanakan aksi demo ke kantor Bupati Dairi dan DPRD Dairi, sebagaimana rencana awal.
“Ruang demokrasi masyarakat kembali dikhianati. Banyak gangguan dan pencegatan dari pihak terkait, sehingga peserta aksi tidak berhasil menuju pusat ibu kota kabupaten,” kata Rohani Manalu dari YPDK dalam keterangan tertulisnya diterima Deteksi.
Ada empat butir pernyataan sikap masyarakat, aliansi masyarakat sipil dan sekber advokasi tambang Sumatera Utara pada aksi itu. Pertama, meminta Bupati Dairi Eddy Keleng Ate Berutu untuk mencabut Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH) No 731 November 2005.
Disusul kemudian, meminta Bupati Dairi mengeluarkan surat rekomendasi terkait penolakan pembahasan Addendum Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL-RKL) tipe A.
Menolak dan meminta KLHK menghentikan dengan segara pembahasan addendum Andal RPL, RKL, Tipe A PT DPM, yang saat ini tengah diajukan PT DPM.
Terakhir, meminta DPRD Dairi membentuk Pansus membantu masyarakat dalam memperjuangkan hak ekonomi, social budaya serta hak sipil dan politiknya.
Disebut, semua upaya dimaksud bertujuan untuk menyelamatkan ancaman lingkungan hidup dari pertambangan yang dipaksakan berada di kawasan risiko gempa dan banjir bandang. Penambangan akan menggusur ekonomi setempat seperti pertanian. Juga, akan mengancam sumber air dan menciptakan konflik di masyarakat.
Dipaparkan, sesuasi penelusuran aliansi, ditemukan bahwa PT DPM adalah sebuah perusahaan patungan antara konglomerat pertambangan berbasis di Beijing, China Non-Ferrous (NFC), 51 % serta perusahaan tambang batu bara raksasa Indonesia, Bumi Resources milik keluarga Aburizal Bakrie, 49 %.
Mendapatkan kontrak Karya (KK) No.99 PK 0071, tanggal 18 Februari 1998 dari Kementerian Energi Sumber daya Alam (ESDM) dengan konsesi total seluas 24.636 Ha. Konsensi PT DPM itu tersebar di tiga kabupaten yakni Kabupaten Dairi, Pakpak Bharat Propinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Saat ini, PT DPM sedang mengajukan tiga perubahan izin lingkungan yaitu perubahan izin lokasi gudang bahan peledak, lokasi tailing Storage Facility (TSF) dan penambahan lokasi mulut tambang (Portal).
Dipaparkan, alasan mendasar masyarakat menolak PT DPM, diantaranya, masyarakat di sekitar lokasi proyek PT DPM mayoritas bermata pencaharian petani, yang hidup bergantung kepada sumber daya alam seperti air, tanah, sungai dan hutan. 76 persen warga, mayoritas perempuan, bekerja sebagai petani dan mengandalkan hidupnya dari hasil pertanian.
Terkait hal itu, masyarakat di sekitar wilayah pertambangan PT DPM khawatir akan potensi daya rusak tambang ke depan, secara khusus di lahan pertanian masyarakat. Ancaman berkurangnya pasokan air, baik untuk kebutuhan sehari-hari dan sumber irigasi, potensi tercemarnya tanah akibat air asam tambang yang dihasilkan dari limpahan bendungan limbah.
Alasan lainnya, bendungan tailing atau limbah tambang akan memiliki risiko tinggi runtuh karena berada di atas struktur tanah yang tidak stabil, karena terbentuk dari Toba Tuff. Lokasi bendungan yang diusulkan juga dekat dengan jalur patahan yang telah memicu tsunami Boxing Day tahun 2004, sebagaimana pendapat ahli bendungan internasional, Dr Richard Meehan.
Disebutkan juga, PT DPM merencanakan pembangunan bendungan penyimpanan tailing yang berlokasi di  hulu Desa Longkotan. Hal itu berpotensi mengancam keselamatan desa yang berada di hilir tambang. Diperkirakan, terdapat sebelas desa dan lima puluh tujuh dusun yang berpotensi sumber air dan sungainya tercemar.
Ancaman lain yang menjadi alasan penolakan PT DPM, terkait gudang bahan peledak. Sesuai AMDAL dan IPPKH yang diterbitkan Kementerian Kehutanan RI tahun 2012, seharusnya gudang bahan peledak dibangun di dalam kawasan hutan.
Namun kenyataannya, gudang bahan peledak itu dibangun di Areal Penggunaan Lain (APL), di Dusun Sipat Desa Longkotan, berada sangat dekat dengan wilayah pemukiman dan perladangan masyarakat, hanya sekitar 50,64 meter.
Sekretariat bersama advokasi tolak tambang, mengajak semua komponen masyarakat yang peduli pada keselamatan rakyat, kelestarian lingkungan hidup dan peduli pada ancaman risiko bencana dari proyek PT DPM, untuk membangun solidaritas seluas-luasnya (RP)