Malang, KEPALA Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Kuntadi menyatakan institusinya menghendaki penerapan konsep dominus litis dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Konsep itu menyatakan jaksa merupakan pemilik perkara. “Artinya jaksalah yang akan mempertanggungjawabkan serangkaian tindakan dalam proses hukum, mulai dari penyidikan hingga penuntutan,” ujar Kuntadi dalam acara Seminar Nasional Sistem Peradilan Pidana di Auditorium Universitas Brawijaya, Kota Malang, pada Selasa, 27 Agustus 2025.
Kuntadi menjelaskan proses penyidikan dan penuntutan merupakan suatu rangkaian tahapan dalam sistem peradilan pidana yang saling terkait dan tidak terpisahkan. Sebab, kegagalan dalam penyidikan sangat berpengaruh terhadap proses penuntutan. Penyidikan tindak pidana yang baik akan menghasilkan penuntutan yang baik pula.
Menurut Kuntadi, salah satu persoalan yang menjadi tantangan penuntutan disebabkan karena pola komunikasi yang tidak optimal dengan penyidik. Penyidik itu, kata dia, tidak hanya penyidik kepolisian tetapi juga penyidik pegawai negeri sipil yang lain. Dia menyatakan pola komunikasi yang terjadi antara penyidik dengan penuntut umum selama ini hanya bersifat formal dan administratif melalui surat menyurat. Pola itu dia anggap belum optimal dalam memberikan kebenaran materiil atas suatu perkara yang menjadi dasar dilakukannya penuntutan.
“Jaksa tidak pernah tahu barang (hasil penyidikan) ini benar atau tidak karena kami pada prinsipnya harus percaya dengan lembaga negara. Ketika dibawa maju ke persidangan, ketika dikonfirmasi langsung ke para pihak, sering kali bertentangan,” kata dia.
Oleh karena itu, dia menilai sebagai pihak yang berwenang melakukan penuntutan, jaksa harusnya terlibat dalam seluruh tahapan penanganan perkara pidana sejak awal, mulai dari penyidikan hingga penuntutan. Kuntadi menyatakan apabila perkara telah ditetapkan berstatus P21 oleh jaksa, maka perkara itu dianggap telah terbukti. Jaksa itu harus bertanggung jawab dengan cara memastikan hasil penyidikan itu teruji dengan benar. “Pada prinsipnya konsep dominus litis kami kehendaki, karena jaksa yang akan mempertanggungjawabkan semua tindakan dari awal hingga ujung,” ujarnya.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sebelumnya menilai sumber permasalahan penanganan perkara pidana disebabkan oleh tumpang tindihnya kewenangan antarpenegak hukum, meliputi kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Menurut dia, momentum revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah bergulir di parlemen saat ini menjadi waktu yang tepat untuk memperbaikinya.
“Untuk itu, salah satu aspek krusial dalam reformasi hukum acara pidana adalah penegasan dan penguatan peran kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan pidana,” ujar ST. Burhanuddin dalam agenda yang sama.
Menurut dia, konsep itu telah memiliki legitimasi dalam penjelasan Pasal 132 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal itu, kata Burhanuddin, pada dasarnya memperluas makna penuntutan, sehingga mencakup keseluruhan proses peradilan pidana mulai dari tahapna paling awal yakni penyidikan hingga eksekusi pengadilan.
Dalam konstruksi hukum yang baru itu, kata Burhanuddin, kejaksaan tidak hanya difungsikan sebagai penuntut umum di persidangan, melainkan sebagai institusi sentral yang mengawal dan mengendalikan seluruh mata rantai proses peradilan pidana Dia menjelaskan dengan konsep itu kejaksaan berfungsi menjadi penjaga gerbang suatu perkara layak dilanjutkan ke persidangan atau tidak sekaligus menajdi penjamin tegaknya prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana.
Adapun, revisi KUHAP yang tengah dibahas di parlemen itum akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang telah berlaku sekitar 44 tahun lamanya. Revisi KUHAP ini merupakan inisiatif DPR dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP ini menuai kritik. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, misalnya, berulang kali menyuarakan ketidakpuasan mereka soal RUU KUHAP. Koalisi menilai revisi KUHAP masih minim partisipasi publik, dilakukan secara tergesa-gesa, hingga masih memuat sejumlah pasal bermasalah. (Net)
Sumber, Tempo.co











