DETEKSI.co-Jakarta, Malut Institute mengungkap dugaan maraknya pertambangan nikel di Maluku Utara terjadi pada awal tahun 2020, dimana sejak kebijakan hilirisasi nikel secara resmi digulirkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan diberlakukannya larangan ekspor biji nikel.
Alhasil, Maluku Utara menjadi salah satu daerah objek eksploitasi nikel secara besar-besaran, dan memiliki daya rusak terhadap alam, manusia, dan ekosistem lingkungan yang sangat meresahkan.
Direktur Malut Institute Abdurrahim Fabanyo menyatakan, Presiden Prabowo Subianto seharusnya berani mengusut tuntas eksploitasi tambang nikel di Maluku Utara. Pasalnya, kini pertambangan nikel tersebut telah menimbulkan beragam dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya secara masif, dan tidak bisa diterima secara akal sehat.
“Masyarakat berharap Presiden Prabowo berani tertibkan pertambangan nikel di Maluku Uatara. Pencemaran terus terjadi sehingga berdampak pada penurunan kualitas hidup warga. Banyak ikan mati, dan air sungai tak layak dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari warga,” kata Abdurrahim Fabanyo dalam keterangannya, Sabtu (30/8/2025).
Dampak eksploitasi tambang nikel ini, kata dia, berkontribusi negatif dan signifikan terhadap kerusakan lingkungan dan masyarakat. Dampak lingkungan meliputi pencemaran air, deforestasi serta kerusakan ekosistem. Sedangkan dampak sosial ekonomi meliputi konflik agraria, hilangnya mata pencaharian masyarakat adat, dan potensi gangguan kesehatan akibat paparan logam berat.
Menurut Abdurrahim, aktivitas pertambangan nikel di Maluku Utara telah mencemari sungai dan air laut, sehingga membuat air tidak layak dikonsumsi, dan mengganggu biota air. Ia menyontohkan, misalnya sungai Sangaji di Halmahera Timur, dan sungai Sagea di Halmahera Tengah, diduga tercemar akibat limbah pertambangan nikel.
Selain soal eksploitasi nikel secara besar-besaran, ia menuturkan bahwa rakyat Maluku Utara juga dibungkam secara sistemik dengan angka-angka statistik sebagai provinsi dengan angka pertumbuhan ekonomi tertinggi yaitu 5,31 persen pada tahun 2022, 20,49 persen tahun 2023, 27,27 persen tahun 2024, dan 34,58 persen pada triwulan I tahun 2025.
“Angka-angka statistik yang dipublikasikan ini merupakan kebohongan publik yang berbanding terbalik dengan realitas kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingginya angka kemiskinan di daerah-daerah wilayah kegiatan pertambangan nikel. Ironisnya lagi, Maluku Utara dinobatkan sebagai provinsi terbahagia di Indonesia,” ujarnya.
Di lain sisi, Abdurrahim menjelaskan, pembukaan lahan untuk pertambangan nikel telah menyebabkan hilangnya hutan dan lahan pertanian, mengakibatkan keseimbangan ekosistem terganggu, dan meningkatkan potensi resiko banjir dan tanah longsor. Misalnya, sambung dia, peristiwa banjir yang kerap terjadi di daerah Lukolamo dan sekitarnya di Halmahera Tengah, dan Soligi Obi, Halmahera Selatan, pada setiap datangnya musim hujan.
Untuk itu, Malut Institute mendorong dan mendukung pemerintahan Presiden Prabowo untuk berani melakukan penertiban pertambangan nikel di Maluku Utara, mulai dari aspek perizinan, dampak lingkungan, keberlangsungan hidup masyarakat adat lokal, hingga kepatuhan terhadap prinsip keberlanjutan lingkungan, konservasi sumber daya alam, penurunan dampak limbah dan pencemaran, serta undang-undang yang berlaku.
“Maraknya kegiatan pertambangan nikel di Maluku Utara, terindikasi dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, baik oknum penentu kebijakan di pusat maupun daerah yang bersekutu dengan oligarki,” tandas Abdurrahim.
Delapan Resolusi ke Presiden Prabowo
Menyikapi berbagai dampak negatif maraknya eksploitasi pertambangan nikel di Maluku Utara, Malut Institute menyampaikan delapan resolusi kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pertama, mendesak Presiden Prabowo mengambil langkah-langkah strategis dan membentuk tim investigasi independent untuk mengusut tuntas dugaan pertambangan nikel illegal dengan memprioritaskan kegiatan penambangan di pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km, antara lain di Pulau Gebe, Pulau Fau, Pulau Gee, Pulau Pakal, Pulau Mabuli, dan Pulau Malamala. Selanjutnya, tim investigasi independent mengusut tuntas dugaan tumpang tindih lahan kegiatan tambang di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur serta Pulau Obi.
Kedua, melakukan audit terhadap perusahaan pertambangan nikel di Maluku Utara. Ketiga, melakukan audit lingkungan terhadap kegiatan pertambangan nikel di Maluku Utara. Keempat, melakukan audit kepatuhan pembayaran pajak perusahaan pertambangan nikel untuk memastikan kontribusinya bagi pemerintah daerah Maluku Utara maupun pusat.
Kelima, menindak tegas oknum pejabat negara baik di pusat dan daerah yang terindikasi terlibat mafia pertambangan di Maluku Utara. Keenam, menyeret korporasi yang terindikasi terlibat mafia pertambangan. Ketujuh, menyelidiki dan mengungkap keterlibatan orang kuat yang membekingi kegiatan pertambangan nikel illegal di Maluku Utara.
“Kedelapan, mengevaluasi ulang proyek strategis nasional (PSN) di IWIP dan Harita nikel di Maluku Utara, yang merupakan proyek akal-akalan yang sangat merugikan masyarakat setempat,” tutup Abdurrahim Fabanyo.
Sebagaimana diketahui, dampak nyata dari pertambangan nikel di Maluku Utara tidak hanya berisiko merusak keanekaragaman hayati dan siklus air, tetapi juga memperbesar ketimpangan sosial dan ekologis di wilayah terdampak. Jika hal ini terus dibiarkan, kerusakan yang dihasilkan akan jauh melampaui keuntungan ekonomi sesaat dari investasi pertambangan. Pemerintahan Presiden Prabowo perlu segera menyelaraskan agenda hilirisasi dengan perlindungan lingkungan yang tegas dan berbasis data, agar pembangunan tidak dilakukan dengan mengorbankan masa depan ekologis bangsa. (EDO)











