DETEKSI.co-Medan, Oligarki PLTU Batubara Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat diduga mencemari lingkungan di pangkalan susu, hal ini mengakibatkan rusaknya kualitas air dan udara sehingga terganggunya kesehatan anak-anak yang tinggal di lingkungan sekitar di ring 1. Maka Yayasan Srikandi Lestari mengagas dan melakukan diskusi krisis iklim serta nonton bareng film “Bara Hitam”, Minggu (24/4/2022) di Jalan Dr. Manysur, Medan.
Didalam diskusi ini, Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari, Sumiati Surbakti menjelaskan bahwa sudah 44 persen terjadi perubahan iklim seperti kesehatan di lokasi PLTU Batubara di Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, sehingga berdampak kepada masyarakat yang mengalami penyakit kulit hingga kepada anak-anak.
“Kita mengkampayekan agar menghentikan proyek PLTU Batubara yang ada dilangkat, serta memberikan solusi yang kami tawarkan adalah sinar matahari sebab karena energi ini saat baik dan merupakan ciptaan Allah,” jelas Sumiati Surbakti dalam diskusi serta launching Sekolah Energy Bersih untuk anak-anak yang terdampak lingkungan.
Bahkan Sumiati Surbakti juga mengutarakan bahwa pihaknya telah melakukan pengamatan hingga menggunakan satelit bahwa disana, tidak ada bak penampung abu, yang seharusnya pihak PLTU Batubara harus menyediakan bak penampung abu di dalam jarak sekitar 2,5 Kilometer di sekitar lokasi.
“Kami sudah pastikan dengan satelit bahwa dilokasi PLTU Batubara Pangkalan Susu tidak ditemukan bak penampung abu, dan Amdal yang dikeluarkan juga seharusnya juga ada saringan abu sebab PLTU ini setiap harinya mengeluarkan abu sekitar 2,5 ton perharinya,” sebut Sumiati Surbakti.
Selanjutnya dari Fossil Free yang diwakilkan oleh Rimba Nasution yang merasakan dampaknya yang terjadi di lokasi PLTU Batubara yang berada di Kabupaten Langkat ini, sangat tragis dan menakutkan sebab, anak-anak disekitar lokasi mengalami ganguan kesehatan dengan mengalami sekujur tubuhnya gatal-gatal hingga tangan para anak-anak untuk belajar tidak bisa menulis.
“Demi uang mengancurkan lingkungan, demi uang merusak masa depan. Sebab suasana di PLTU sangat mengerikan, maka kasus PLTU Batubara di Sumatera dari Aceh hingga Lampung hampir sama kasus sama,” ungkap Rimba Nasution dalam diskusi ini.
Bukan hanya itu saja, jelas Rimba Nasution pernah merasakan hujan tapi panas, panas tapi hujan, maka itulah suasana krisi iklim yang terjadi yang dirasakan bila lingkungan sudah tercemar.
“Kalau kita sadari kita bisa memperbaiki dengan tangan pemerintah, tapi bila tidak juga kita bisa meminta atau membangkang untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah,” beber Rimba Nasution dengan tegas.
Maka dalam diskusi ini juga, hadir dari Psikologis yang juga Dosen di Universitas Politeknik Negeri Medan, Atika mengungkapkan bahwa isu lingkungan di dalam isu politik tidak terlalu penting dan tidak populer.
“Ekonomi ekspolistasi, siapa yang diuntungkan tentu sejumlah elit, dan yang pasti dirugikan adalah kelompok orang miskin,” jelas Atika dalam pemaparannya yang dihadiri dari para aktifis lingkungan yang ada di Sumatera Utara. (Zul)