Ancaman Ekologi Karena Kehadiran PT DPM, Warga Audensi Ke DPRD Dairi

Perwakilan warga dari Desa Bongkaras, Pandiangan dan Sumbari di dampingi aliansi NGO Dairi, Pesada, Petrasa dan YDPK, audensi ke Komisi II DPRD Dairi terkait keberadaan PT DPM yang dikhawatirkan nantinya merusak ekologi (Foto: Deteksi.co/istimewa)
DETEKSI.co – Dairi, Kehadiran tambang seng dan timah PT Dairi Prima Mineral (PT DPM) di Sopokomil, Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, berpotensi merusak ekologi. Hal itu diungkapkan perwakilan warga dari beberapa desa, saat audensi ke Komisi II DPRD Dairi, Selasa (6/4/2021).
Perwakilan warga dari Desa Bongkaras, Pandiangan dan Sumbari di dampingi oleh Aliansi NGO Dairi, Pesada, Petrasa dan YDPK. Mereka diterima pimpinan dan anggota Komisi II, serta unsur eksekutif, dari beberapa dinas terkait. Demikian siaran pers diterima Deteksi dari Rohani Manalu, perwakilan YPDK Kamis (7/4/2021).
Pada pertemuan itu, warga menyampaikan empat materi yang diminta untuk jadi pertimbangan pemerintah, mengkaji ulang keberadaan PT DPM di Dairi. Materi itu, kajian dari ahli keselamatan bendungan limbah Richard Meehan, kajian ahli hidrologi Steve Emerman, materi terkait pasokan air, serta kajian kepatuhan hukum PT DPM.
Parningotan, warga Desa Pandiangan menyebut, Richard Meehan telah melakukan kajian terkait addendum ANDAL PT DPM. Beberap catatan penting, rencana pembangunan bendungan limbah sangat dekat dengan pemukiman penduduk, sekolah dan rumah ibadah. Hal itu berpotensi mengancam kehidupan warga.
Selain itu, Dairi merupakan daerah dengan curah hujan yang tinggi, serta berada di daerah rawan bencana dan rawan gempa, sesuai data Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Sehingga, bendungan limbah berpotensi jebol, yang dapat menutupi desa bahkan sampai ke hilir.
Lapisan plastik pada bendungan yang dibuat dengan tujuan menahan rembesan, berpotensi pecah dan tentunya akan berpotensi meracuni air tanah. Dicontohkan, tahun 2012, di Desa Bongkaras telah terjadi kebocoran limbah ketika masa ekplorasi PT DPM.
“Kami masyarakat yang tinggal di sekitaran tambang merasa khawatir. Kami ingin hidup seperti biasanya, hidup tenang dan jangan kami dibuat menjadi takut. Kami memohon kepada bapak komisi 2, untuk merekomendasikan pengkajian ulang ijin PT DPM,” kata Parningotan.
Rinawati Sinaga, warga Desa Bongkaras menambahkan alasan kekhawatiran mereka atas kehadiran PT DPM. Dikatakannya, struktur tanah di Sopokomil tidak stabil karena berasal dari gunung letusan gunung api Toba, sehingga lokasi bendungan limbah yang dibangun,  tidak memiliki pondasi yang kuat, berpotensi jebol.
“DPM mengatakan bahwa mereka mempekerjakan tenaga ahli untuk membantu mereka menemukan lokasi yang aman. Tetapi itu sudah bertahun tahun lalu. Dari sedikit informasi yang mereka berikan, tidak menunjukkan adanya tenaga ahli,” kata Rinawati.
“Standart internasional mengharuskan pemilik tambang memiliki tenaga ahli untuk meninjau ulang rencana keamananan. Namun PT DPM tidak melakukannya. Kami memohon kepada DPRD agar ikut serta dengan masyarakat untuk menolak pembangunan PT DPM,” lanjutnya.
Sementara Hodwin Hutasoit, warga Pandiangan, memaparkan hasil kajian ahli hidrologi Steve Emerman, berdasarkan dokumen addendum Andal, RKL dan RPL PT DPM yang mereka terima pada Juli 2019.
Disebut, PT DPM berencana menambang seng maupun timah 1 juta ton per tahun. Bukan angka yang sedikit. Diketahui bahwa tambang rakus akan air, sementara di dalam addendum Andal, tidak jelas informasi sumber air yang akan digunakan oleh PT DPM. “Apakah DPM akan membawa air dari Tiongkok? Kami juga perlu tahu,” kata Hodwin.
Terkait limbah, akan disuntikkan ke dalam tanah taksasi 70 hingga 75 persen dan 20 hingga 25 persen limbah cair akan disimpan dalam bendungan. Menurut Steve Emerman, limbah padat maupun limbah cair itu berpotensi mencemari air. Bendungan limbah juga hanya berjarak 1 kilometer dari pemukiman penduduk.
“Dalam Addendum Andal PT DPM juga dikatakan bahwa bendungan limbah yang dibangun dirancang hanya mampu menahan banjir seratus tahun, tanpa dasar yang jelas. Seyogianya sesuai standart internasional, harus mampu menaha banjir seribu atau sepuluh ribu tahun ke depan. Apakah semudah itu regulasi kita? kalau suatu saat itu jebol bagaimana?” tanya Hodwin, mengutip kajian Steve Emerman.
Sementara Mangatur, warga Desa Sumbari mengatakan, di mulut tambang PT DPM di Dusun Sopokomil, ada sumber mata air yang menghidupi enam ribu jiwa penduduk sekitaran lokasi itu. Dikhawatirkan, mata air itu nantinya terkontaminasi limbah beracun.
Situmorang, warga Desa Bongkaras menambahkan, di desanya memiliki empat sumber air untuk kebutuhan air minum dan irigasi yakni Batu Hapur, Lae Salapsap, Sikalombun 1 dan 2, yang berjarak 2-3 kilometer dari mulut terowongan. “Bagaimana nanti sumber air kami itu jika PT DPM beroperasi,” ujarnya.
Ditambahkan Situmorang, selain Bongkaras, beberapa desa lain yang terancam sumber airnya terkontaminasi limbah adalah Desa Longkotan, Tungtungbatu, Kelurahan Parongil, Siboras, Uruk Belin, Bakal Gajah, Siratah dan Huta Ginjang, dimana sumber air kedelapan daerah itu berasal dari Lae Puccu, yang terletak di dusun Sopokomil Desa Longkotan, lokasi inti PT DPM.
Pada kesempatan itu, Rohani Manalu dari YPDK, menyampaikan hasil analisis aliansi NGO terkait kepatuhan hukum PT DPM. Ditemukan beberapa fakta, sehingga anak perusahaan milik Bakrie Group itu diduga melanggar hukum.
Fakta dimaksud, PT DPM berada di patahan, namun dalam addendum tidak menyertakan analisis resiko bencana, sehingga diduga melanggar UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Kemudian, minim partisipasi masyarakat, hanya melibatkan segelintir orang dari 4 desa. Sementara menurut Simpul Layanan Pemetaaan Partisipatif Sumatera Utara, ada 11 Desa yang berpotensi terdampak.
Selanjutnya, diduga terdapat kekeliruan administrasi perpajakan. Dalam Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) disebut PT DPM bergerak dalam pertambangan emas dan perak, namun dalam dokumen lain di sebut jasa pertambangan minyak dan gas.
Fakta berikutnya, gudang bahan peledak yang dibangun di Dusun Sipat Desa Longkotan, berjarak 50 meter dari pemukiman penduduk. Demikian juga dengan pembangunan portal awalnya ada 2, kemudian di addendum menjadi 3 dan fakta di lapangan sudah dikerjakan.
“Artinya, gudang bahan peledak dibangun di luar ijin pinjam pakai kawasan hutan lindung (IPPKH). Demikian juga pembuangan bendungan limbah, awalnya di IPPKH. Faktanya, sebelum ada pembaruan Amdal, PT DPM kembali merencanakan pembangunan bendungan limbah di belakang gereja Sikhem dengan luas 24 hektar,” kata Rohani.
Menanggapi aspirasi warga itu, pihak eksekutif dari beberapa dinas terkait menyebut bahwa mereka juga belum mengetahui isi addendum Andal. “Kami tidak tahu ada pembahasan addendum Andal. Kekhawatiran bapak ibu juga kekhawatiran kami,” kata Kepala BPBD Dairi, Sahala Manik.
Rukiatno Nainggolan, dari komisi II DPRD Dairi menyebut akan meneruskan aspirasi masyarakat itu ke pimpinan DPRD, untuk membuat rekomendasi (RP)