DETEKSI.co-Jakarta, Chairman Lippo Group James Riady membantah lahan sengketa yang bikin Wakil Presiden ke-10 Jusuf Kalla meradang adalah milik Lippo Group.
James mengatakan bahwa lahan berkonflik itu adalah milik perusahaan terbuka besutan Pemerintah Kota Makassar, Sulawesi Selatan, di mana perusahaan Lippo Group merupakan salah satu pemegang sahamnya.
“Lahan itu adalah kepemilikan dari perusahaan pemda (pemerintah daerah) di daerah, yang namanya PT Gowa Makassar Tourism Development Corporation (GMTD) Tbk, perusahaan terbuka, di mana Lippo salah satu pemegang saham, tapi itu perusahaan pemda,” kata James saat ditemui di Wisma Mandiri, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).
Oleh karena itu, James mengatakan dirinya yang mewakili Lippo Group tidak akan memberikan komentar terkait hal tersebut.
“Bukan enggak tahu masalah, artinya itu tanah itu bukan punya Lippo, jadi enggak ada kaitan dengan Lippo, jadi kita enggak ada komentar,” ujarnya.
Ia juga membantah bahwa Lippo Group disebut menyerobot lahan milik PT Hadji Kalla, seperti yang disebut oleh Jusuf Kalla.
“Kamu percaya Lippo menyerobot tanah, kan enggak?,” kata James.
Kata Jusuf Kalla
Sementara dilansir dari Antara, Jusuf Kalla mengatakan bahwa GMTD merekayasa kasus sengketa tanah seluas 16,4 hektar di kawasan Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan.
Menurut Jusuf Kalla, tindakan GMTD itu sebagai bentuk perampokan terhadap hak kepemilikan yang sah. Pasalnya, ia mengaku bahwa tanah tersebut dibelinya langsung dari ahli waris Raja Gowa.
“Jadi itu kebohongan dan rekayasa, itu permainan Lippo, itu ciri Lippo itu. Jadi jangan main-main di sini, Makassar ini,” kata JK, sapaan akrabnya, saat meninjau lahan sengketa tersebut beberapa waktu lalu, dikutip dari Antara.
JK mengaku bahwa lahan tersebut telah dikuasainya selama 30 tahun, sebelum akhirnya ada pihak lain yang mengaku sebagai pemilik dan mengeklaim telah melakukan eksekusi lahan.
“Eksekusi harus didahului dengan nama constatering, pengukuran. Mana pengukurannya? Mana orang BPN-nya, tidak ada semua,” ucap JK.
Nusron Wahid Buka Suara
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menanggapi polemik ini dengan lugas.
Ia menegaskan bahwa akar masalah sengketa ini sudah berusia puluhan tahun sebelum masa kepemimpinannya.
“Kasus ini merupakan produk tahun 1990-an. Justru kini terungkap karena sistem kita sedang jujur dan dibuka. Kami sedang berbenah dan menata ulang sistem pertanahan agar lebih transparan dan tertib,” ujar Nusron, di Jakarta, Minggu (9/11/2025).
Penelusuran Kementerian ATR/BPN mengungkap fakta hukum yang sangat rumit di atas satu bidang tanah di Tanjung Bunga tersebut.
PT Hadji Kalla memegang Hak Guna Bangunan (HGB) yang terbit tahun 1996. HGB ini berlaku hingga 2036.
Sementara GMTD memegang Hak Pengelolaan (HPL) yang berasal dari kebijakan Pemda Gowa dan Makassar yang terbit tahun 1990-an.
Menurut Nusron, secara fundamental, konflik ini adalah tentang tumpang tindih dua hak yang berbeda, HGB milik Hadji Kalla dan HPL milik GMTD (afiliasi Lippo Group), di atas lahan yang sama.
Selain itu, masalah ini diperumit oleh putusan Pengadilan Negeri Makassar tahun 2000 tentang perkara GMTD melawan Manyombalang Daeng Solong yang memenangkan GMTD.
Nusron menjelaskan, penyelesaian kasus ini tidak dapat didasarkan pada generalisasi satu putusan pengadilan, karena ada banyak subjek hukum dan dasar penerbitan hak yang berbeda.
Nusron juga menegaskan bahwa putusan PN Makassar No. 228/Pdt.G/2000 hanya mengikat para pihak yang berperkara GMTD vs. Manyombalang Daeng Solong, sehingga tidak otomatis berlaku terhadap PT Hadji Kalla yang memiliki dasar penerbitan HGB yang berbeda.
“Untuk itu, Kementerian ATR/BPN tidak berpihak. Fungsi Kementerian dalam kasus ini adalah administratif, memastikan bahwa objek tanah yang dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Makassar sudah sesuai dengan data pertanahan yang sah,” tutur Nusron.
Untuk mencegah error in objecto (kesalahan objek) yang sering dimanfaatkan mafia tanah, Kantor Pertanahan Kota Makassar telah mengambil langkah proaktif.
Kantor Pertanahan mengirim surat resmi kepada Pengadilan Negeri Makassar untuk meminta klarifikasi dan koordinasi teknis.
Hal ini karena sebelumnya, Kementerian ATR/BPN menekankan bahwa perlu dilakukan Konstatering Administratif sebelum pelaksanaan eksekusi.
Konstatering adalah proses pengukuran dan pencocokan ulang objek di lapangan dengan data administrasi yang ada, guna memastikan batas-batas eksekusi tidak melanggar hak pihak lain yang sah.
Nusron menggunakan kasus ini sebagai momentum penting untuk membersihkan sistem pertanahan nasional.
“Kami ingin semua terang agar ke depan tidak ada lagi tumpang tindih, sertipikat ganda (double certificate), dan overlapping di masa depan,” tandas Nusron. (Net)
Sumber, Kompas.com














