DETEKSI.co-Aceh Tamiang, Banjir bandang yang melanda Kabupaten Aceh Tamiang pada awal Desember 2025 meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Aceh dan Indonesia. Wilayah yang berbatasan langsung dengan Sumatra Utara itu porak-poranda setelah hujan deras mengguyur tanpa henti selama lima hari. Minggu (14/12/2025).
Bunga Jasmin (23), seorang gadis asal Kecamatan Rantau, Aceh Tamiang, menuturkan detik-detik mencekam saat banjir bandang menerjang kampung halamannya. Malam yang dingin tanpa penerangan, jaringan internet tanpa sinyal, serta hujan yang tak kunjung reda menjadi saksi bisu ketika ia dan keluarganya hanya bisa menunggu dan mengamati tanda-tanda alam.
“Seakan alam memberi isyarat agar manusia berbenah. Alam seperti marah dan hendak menghancurkan penyebab kerusakan itu,” ujar Jasmin.
Sekitar pukul 04.30 WIB, Jasmin terbangun untuk menunaikan salat Subuh. Saat itu, ia melihat air mulai menggenangi pemukiman. Arusnya tak seperti banjir biasa deras dan terus meninggi menimbulkan kecurigaan bahwa air berasal dari Sungai Tamiang. Ia segera membangunkan ibu dan keluarganya untuk bersiap.
“Kami menaikkan barang-barang ke tempat yang lebih tinggi. Tapi arus semakin deras dan air cepat meninggi,” katanya.
Pukul 06.00 WIB, ketika sebagian warga masih terlelap, kepanikan pecah. Jasmin dan keluarganya berlari mencari tempat yang lebih tinggi sambil berteriak memperingatkan warga bahwa banjir bandang datang. Mereka sempat berhenti di sebuah warung, saat ketinggian air masih selutut orang dewasa. Tak lama, ratusan warga berlarian mengikuti arah yang sama.
Banyak kendaraan mogok. Warga terpaksa meninggalkan sepeda motor dan mobil demi menyelamatkan diri. Air yang semula jernih berubah keruh kecokelatan, mengalir kencang membawa lumpur.
Kepanikan memuncak ketika air setinggi dada orang dewasa menerjang area yang sebelumnya dianggap aman. Ratusan orang yang berkumpul di tepi jalan terseret arus. Jasmin dan keluarganya berusaha menuju lokasi yang lebih tinggi, yakni area pemakaman etnis Tionghoa di sebuah bukit.
“Bukan hanya manusia, banyak hewan peliharaan juga berlarian ke arah yang sama,” ucapnya. Dengan susah payah melawan arus, mereka akhirnya tiba di tempat aman, hanya dengan pakaian yang melekat di badan.
Sekitar pukul 09.00 WIB, amukan air kian menjadi. Arus semakin tinggi dan membawa kayu-kayu gelondongan besar menghantam rumah-rumah tanpa ampun. Ketinggian air diperkirakan mencapai 8 hingga 9 meter, menyerupai gelombang tsunami kecil yang menghancurkan apa pun di hadapannya.
“Semua hancur. Anak-anak dan orang dewasa hanyut. Banyak yang berusaha naik ke atap rumah untuk bertahan,” tutur Jasmin dengan suara bergetar.
Tangisan, jeritan, dan teriakan minta tolong terdengar di mana-mana. Di hadapan mata, korban berjatuhan terseret arus. Pemandangan itu meninggalkan luka batin yang mendalam bagi para penyintas.
Dengan air mata, Jasmin menuturkan kisah pilu itu kepada jurnalis agar tragedi yang menimpa Aceh Tamiang menjadi pelajaran bersama. Banjir bandang awal Desember 2025 itu bukan sekadar bencana alam, melainkan peringatan keras atas rusaknya keseimbangan lingkungan.
Desember kelabu di Aceh Tamiang menjadi kisah duka yang mengajak semua pihak merenung: memahami kemarahan alam akibat ulah manusia yang abai menjaganya. (boim)














