Masalah utang Indonesia selalu menjadi “gorengan” sedap bagi pihak oposisi. Sebagian menyatakan bahwa Indonesia berada di ujung kebangkrutan. Benarkah utang Indonesia separah itu?
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, serbuan tenaga asing juga menjadi topik yang sering diangkat menyusul isu terlalu banyak utang dan BUMN terancam dijual.
“Padahal Arab Saudi yang kaya minyak saja juga punya utang. Demikian juga Singapura yang kelihatan megah itu,” ujar Rhenald dalam keterangan tertulis, Sabtu (23/3/2019).
Rhenald mengatakan, cara-cara tersebut bukan hal baru. Bahkan, Adolf Hitler juga menggunakan cara serupa saat merancang kekuasaan dengan menakut-nakuti kaumnya, etnis Arya, akan serangan ekonomi dari kelompok Yahudi.
Lalu, Donald Trump juga menggunakan cara yang sama untuk penduduk kulit putih Amerika yang terdesak serangan imigran dan barang-barang impor akibat globalisasi.
Rhenald menuturkan, beberapa waktu lalu, ekonom Dan Kopf mengumumkan kajiannya tentang gejolak ekonomi. Kopf menemukan dalam soal keseimbangan ekonomi, Indonesia juaranya.
Ia menyelisik pertumbuhan pendapatan riil per kapita menurut data Bank Dunia dari 2002 sampai 2017. Indonesia bahkan jauh lebih unggul dari China dan India yang tumbuh 2 persen lebih tinggi.
Temuan tersebut menguatkan fakta bahwa Indonesia belum ada apa-apanya dalam soal berutang. Faktanya, Indonesia tidak termasuk dalam 10 besar negara dengan rasio utang terbesar di dunia. Bahkan tidak juga dalam daftar 50 besar dan 100 besar.
Indonesia termasuk negara di peringkat bawah dalam hal besar rasio utang. Artinya, jika dibandingkan pendapatannya, utangnya tergolong kecil. Hal ini menandakan potensi Indonesia untuk membangun masih besar.
Per Desember 2017, debt to GDP ratio Indonesia sebesar 28,7 persen, sedangkan di Desember 2018 menjadi 29,78 persen.
“Jika dibandingkan negara lain, Indonesia ada di ranking ke-133 dunia. Artinya, utang bukan andalan Indonesia. Dan menurut saya, sungguh tak bermoral kita menakut-nakuti bangsa agar kurang percaya diri terkait utang ini,” kata Rhenald.
Menurut Rhenald, biasanya, semakin maju ekonomi suatu negara, utangnya juga semakin besar. Namun, tidak dengan Indonesia. Jika ditelisik lebih jauh, Jepang ternyata negara dengan rasio utang tertinggi. Jepang menempati posisi nomor satu dunia dengan debt to GDP ratio 253 persen, disusul Yunani dengan 178 persen dan Lebanon 149 persen.
Di Asia Tenggara, Singapura yang dianggap bersih dari korupsi dan fasilitas publiknya maju ternyata berada di urutan ke-8 dalam berutang dengan rasio 110 persen.
Sementara Vietnam berada di urutan ke-56 dengan rasio utang 61,5 persen, Malaysia di peringkat ke-73 dengan rasio utang 50,9 persen, Filipina di peringkat ke-95 dengan rasio utang 42 persen, Thailand di peringkat ke-98 dengan rasio 41,8 persen, Kamboja di urutan ke-117 dengan rasio 35,1 persen, dan Myanmar di urutan ke-121 dengan rasio 33,6 persen.
“Jadi kalau ada yang membesar-besarkan bahwa setiap bayi yang lahir punya utang Rp13 juta di sini, jangan kaget. Setiap bayi yang lahir di Singapura harus menanggung Rp700 juta,” kata Rhenald.
Bahkan, negara Islam seperti Saudi Arabia pun berutang dengan debt to GDP ratio pada Desember 2018 sebesar 17,2 persen. Selain debt to GDP, tentu ada beberapa indikator lain yang digunakan untuk melihat utang suatu negara. Misalnya, tingkat imbal hasil atau yield dan porsi kepemilikan oleh investor domestik dan asing.
Menurut Rhenald, yang terpenting adalah memahami bahwa utang Indonesia saat ini tidaklah mengerikan seperti yang dikatakan beberapa politisi. Apalagi kini APBN Indonesia sudah dikelola dengan prudent.
“Jadi, mari kita buka pikiran dan hati kita bahwa negeri ini tidak buruk-buruk amat ekonominya. Kecuali kita sendiri yang ingin melihatnya buruk tentunya,” kata Rhenald.
Sumber: Kompas