DETEKSI.co-Medan, Para santri dinilai menjadi salah satu kelompok yang rentan terpapar paham radikalisme dan intoleransi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar dari mereka masih berusia remaja dan sedang berada dalam fase pencarian jati diri.
“Adik-adik kita para santri ini masih dalam fase mencari identitas. Mereka masih polos dan kosong. Ini menjadikan mereka sasaran empuk bagi penyebar paham radikal dan terorisme,” ujar Ustadz Rony Syamsuri Lubis, mantan narapidana terorisme (Napiter), saat memberikan paparan dalam kegiatan bertema “Mengimplementasikan Nilai-Nilai Pancasila Guna Mencegah Penyebaran Paham Radikal dan Intoleransi” di Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah Medan, Sabtu (5/7).
Kegiatan tersebut turut dihadiri oleh perwakilan pimpinan pondok pesantren, Ustadz Rudiansyah, serta para santri sebagai peserta utama.
Dalam paparannya, Ustadz Rony yang kini menjabat sebagai Ketua X-TERNAL (Ex-Terrorist Intern Alliance) wilayah Sumatera Utara, menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi celah masuknya paham radikal di tengah masyarakat, khususnya kalangan muda. Faktor-faktor tersebut antara lain: ketimpangan sosial ekonomi, rendahnya pendidikan kebangsaan, eksklusivisme beragama, kekecewaan terhadap pemerintah, serta ketidakadilan sosial.
“Narasi keadilan sering digunakan oleh kelompok tertentu sebagai dalih untuk berbuat anarkis. Ketidakadilan sosial membuka jalan bagi tumbuh suburnya paham radikal,” ungkapnya.
Ustaz Rony juga membagikan kisah pribadinya saat dirinya ditangkap sebagai pelaku terorisme. Ia mengaku penangkapan itu menjadi titik balik dalam hidupnya.
“Saat saya ditangkap, saya mulai sadar bahwa ada kekuatan asing yang berusaha mengacaukan Indonesia dengan memanfaatkan ideologi teror, radikalisme, dan intoleransi. Ini adalah bentuk proxy war untuk menjatuhkan Indonesia tanpa peperangan terbuka,” terangnya.
Pancasila, Solusi Menangkal Radikalisme
Menurut Rony, Pancasila adalah solusi ideologis yang kuat untuk menangkal radikalisme dan intoleransi. Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila mencerminkan keseimbangan antara spiritualitas, toleransi, keadaban, nasionalisme, demokrasi, hingga keadilan sosial.
- Sila pertama, mengajarkan nilai spiritualitas dan toleransi antar umat beragama.
- Sila kedua, menanamkan adab, kesantunan, dan anti kekerasan.
- Sila ketiga, menumbuhkan nasionalisme inklusif.
- Sila keempat, menjunjung tinggi demokrasi dan musyawarah.
- Sila kelima, menekankan pemerataan keadilan dan kesejahteraan sosial.
“Pancasila mencakup semua aspek untuk mencegah ideologi ekstrem masuk ke dalam pemikiran generasi muda kita,” tegasnya.
Rony juga menjelaskan bahwa intoleransi adalah akar dari radikalisme, ekstremisme, hingga terorisme. Intoleransi muncul dari sikap menolak keberadaan perbedaan, yang kemudian berkembang menjadi kebencian, diskriminasi, bahkan tindakan kekerasan.
“Intoleransi adalah ketidakpedulian terhadap eksistensi orang lain. Ia muncul dalam bentuk sikap yang tidak manusiawi, yang memicu konflik atas dasar perbedaan,” jelasnya.
Sebaliknya, toleransi adalah kunci keharmonisan dalam masyarakat majemuk. Toleransi berarti menghargai perbedaan, baik dari sisi agama, budaya, maupun pandangan sosial. Hal ini menjadi landasan untuk membangun kehidupan bersama yang inklusif, damai, dan saling menghormati.
“Toleransi bukan hanya sikap, tapi juga tindakan nyata yang harus dijaga oleh semua pihak agar kita bisa menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera,” pungkas Ustadz Rony.(Zul)










