Fenomena Pilkada Tapteng, Calon Tunggal Vs Kotak Kosong

Foto Ilustrasi

DETEKSI.co – Tapteng, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) yang akan digelar pada 27 November mendatang berpotensi menyajikan calon tunggal versus (Vs) kotak kosong. Memasuki hari kedua perpanjangan pendaftaran, belum ada tanda-tanda pasangan calon (paslon) yang mendaftar. Setelah penutupan pendaftaran pada 29 Agustus 2024 lalu, Pilkada Tapteng masih memiliki satu paslon, yakni Khairul Kiyedi Pasaribu – Darwin Sitompul (KEDAN).

Pasal 54 C ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyatakan, setelah terjadi penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar, dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat, proses atau tahapan Pilkada 2024 akan dilanjutkan, meski hanya terdapat calon tunggal.

Diketahui, pasangan calon Khairul Kiyedi Pasaribu – Darwin Sitompul diusung Partai Gerindra, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, Partai Demokrat, dan Partai Persatuan Indonesia, dengan total suara partai pengusung 159.545.

Sementara beberapa partai yang tidak mengusulkan paslon diantaranya, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Buruh, Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Hanura, Partai Garuda, dan Partai Solidaritas Indonesia. Dengan hanya menyisakan 9.430 suara, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Buruh, Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Hanura, Partai Garuda, dan Partai Solidaritas Indonesia, tidak akan bisa mengusung paslon.

Merunut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, tentang ambang batas partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan paslon, gabungan tujuh parpol lainnya tidak akan bisa mengusung satu paslon lain, karena tidak mencapai 8,5 persen dari suara sah Pemilu 2024 (kabupaten/kota dengan jumlah DPT lebih dari 250.000 sampai dengan 500.000 jiwa).

Belakangan diperoleh informasi, Partai Kebangkitan Bangsa yang memperoleh satu kursi di DPRD Tapteng, juga telah memberikan dukungan kepada bakal paslon KEDAN. Dengan demikian, paslon KEDAN yang telah mendapatkan rekomendasi partai politik (parpol) melebihi persyaratan yang ditentukan, kemungkinan besar akan menjadi pendaftar pertama dan terakhir di KPU Tapteng.

Sangat menakjubkan dan membuat semua mata terbelalak. Paslon KEDAN mendapatkan rekomendasi B1-KWK dari 12 parpol peserta Pemilu 2024. Dari dua belas parpol tersebut, tujuh diantaranya merupakan peraih kursi di DPRD Tapteng yakni, NasDem (17 kursi), PDIP (4 kursi), Golkar (5 kursi), PAN (2 kursi), Gerindra (4 kursi), Demokrat (2 kursi), dan PKB (1 kursi). Selain itu, beberapa parpol lain yang tidak memiliki kursi di DPRD Tapteng di Pemilu 2024 seperti, PKS, PBB, Perindo, Gelora, dan PPP, juga memberikan dukungan ke paslon besutan Partai NasDem itu.

Ini mengindikasikan, beberapa paslon yang gembar gembor dan digadang-gadang akan ikut bertarung di Pilkada Tapteng 2024 akan tereliminasi. Kecuali, ada partai politik yang sebelumnya merekomendasikan bakal paslon KEDAN, menimbang ulang dukungannya, sekaligus mengalihkan ke paslon lain. Namun kemukjizatan ini bakal sulit terjadi, disaat perpanjangan pendaftaran sudah memasuki injury time.

Jauh sebelumnya, KPU Tapteng telah menyatakan sejak mulai dibukanya penyerahan dukungan pencalonan perseorangan bakal calon (balon) Bupati dan wakil Bupati Tapteng, tanggal 8 hingga 12 Mei 2024, tidak ada satupun bakal paslon kepala daerah jalur perseorangan atau independen yang mendaftar. Dengan demikian, Pilkada Tapteng 2024 dipastikan minus calon perseorangan.

Jika tidak ada perubahan dukungan parpol, paslon KEDAN akan menjadi calon tunggal di Pilkada Tapteng 2024. Namun walaupun begitu, pasangan Khairul Kiyedi Pasaribu – Darwin Sitompul sebagai calon tunggal tidak serta merta secara aklamasi diangkat menjadi kepala daerah. Dalam sistem Pilkada dikenal adanya Pemilu antara pasangan calon tunggal, yang akan melawan kotak kosong. Berdasarkan peraturan, pasangan calon tunggal harus memperoleh suara 50 persen plus 1 suara sah.

Walau mengancam demokrasi, munculnya fenomena paslon tunggal melawan kotak kosong, bermula ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan daerah yang hanya memiliki satu paslon dapat mengikuti Pilkada Serentak. Ketentuan itu diakomodir KPU dengan mengeluarkan PKPU Nomor 14 Tahun 2015, yang kemudian diperbaiki dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2018, tentang Perubahan atas PKPU Nomor 14 Tahun 2015. Sarana yang digunakan adalah surat suara yang memuat dua kolom, satu kolom memuat foto paslon, dan lainnya kolom kosong

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, juga mengakomodasi dan mengatur secara rinci pelbagai persyaratan paslon tunggal yang dimungkinkan jika tak ada lagi pasangan lain yang mendaftar. Pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar, dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat.

Sebagaimana dinukil dari jurnal “Kotak Kosong Memenangkan Pemilihan Umum Kepala Daerah” oleh Ayu Lestari dkk, yang dilansir dari tempo.co, munculnya fenomena calon tunggal melawan kotak kosong dalam Pilkada dipengaruhi berbagai faktor. Selain faktor yuridis, beberapa faktor lainnya adalah, proses pencalonan yang membutuhkan biaya tinggi (mahar politik), serta lemahnya daya saing bakal calon dalam kompetisi politik. Kotak kosong versus paslon juga terjadi karena sifat partai politik yang hanya ingin menang, bukan ingin memperjuangkan ideologi partai.

Saat ini, seseorang yang ingin menjadi kepala daerah tidaklah mudah, karena menuntut biaya yang tinggi dalam proses pencalonan. Selain menuntut biaya pembuatan berbagai properti dan lain sebagainya, bila tidak mempersiapkan mahar politik, dipastikan orang yang berhasrat menjadi kepala daerah tidak akan dapat mencapai impiannya.

Mahar politik seakan menjadi hal yang lumrah, karena dianggap sebagai ongkos perahu yang dalihnya nanti dijadikan sebagai dana pembiayaan untuk menjalankan roda kendaraan partai. Layar perahu kapal partai politik dipastikan tidak akan terkembang, dan kapal partai politik tidak akan berlayar untuk membawa paslon kepala daerah bila mahar politik tidak dibayarkan.

Tingginya cost politik akan dimanfaatkan paslon yang memiliki modal besar memborong dukungan semua partai politik. Ibarat strategi “total foofball’ dalam sepakbola modern, taktik ini akan menutup peluang bagi putra daerah lain untuk dapat maju menjadi calon. Dengan modal yang besar, calon kepala daerah mengunci kesempatan bagi calon yang lain untuk mendapat dukungan.

Strategi ini tidak dapat disalahkan. Karena sejatinya, Pilkada merupakan pertaruhan untuk meraih kemenangan dan menduduki kekuasaan. Yang salah adalah lemahnya daya saing dan ketidakberanian melakukan pertarungan dalam kompetisi. Padahal, pertarungan sejati adalah saat ada lawan. Sehingga, bila kemenangan yang diraih atau kekalahan yang didapat, semua merupakan bukti ketangguhan dan keberanian yang sebenarnya. (Zatam)