DETEKSI.co-Batam, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Peh Tiam Poo alias Mr. Peter, General Manager PT Sentek Indonesia, dengan pidana 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 100 juta dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan lahan fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum-fasos) di kawasan Merlion Square, Batam.
Tuntutan dibacakan oleh JPU Gilang Prasetyo Rahman dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjungpinang, Selasa (9/12/2025). Jaksa menyatakan terdakwa terbukti menyalahgunakan kewenangan dalam pengelolaan lahan pendidikan seluas 4.946 meter persegi yang seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam.
“Terdakwa tidak melaksanakan kewajibannya untuk menyerahkan lahan pendidikan kepada Pemerintah Kota Batam sebagaimana diatur dalam fatwa planologi,” kata Gilang saat membacakan amar tuntutan di persidangan.
Dalam tuntutannya, jaksa menyusun dua alternatif. Pada alternatif pertama, jaksa menilai unsur Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terbukti.
Namun, pada alternatif kedua, jaksa menilai perbuatan terdakwa memenuhi unsur Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor tentang penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara.
“Perbuatan terdakwa telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebagaimana hasil audit investigatif BPK RI,” kata Gilang.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigatif BPK RI Nomor 17/LHP/XXI/04/2025, nilai kerugian negara mencapai Rp 4.896.540.000. Kerugian tersebut berasal dari hilangnya aset daerah berupa lahan pendidikan yang masuk dalam kewajiban penyerahan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) pengembang perumahan.
Jaksa juga meminta majelis hakim menetapkan uang sebesar Rp 494.600.000 yang telah dititipkan terdakwa ke rekening RPL Kejaksaan Negeri Batam sebagai uang pengganti, untuk kemudian disetorkan ke Kas Daerah Kota Batam.
Dalam surat dakwaan, jaksa menguraikan bahwa PT Sentek Indonesia memperoleh penetapan lokasi pengembangan Merlion Square pada 2002 seluas 100.249 meter persegi. Berdasarkan Fatwa Planologi 2006 dan revisinya tahun 2008, perusahaan diwajibkan menyerahkan sebagian lahan untuk fasum dan fasos, termasuk lahan pendidikan.
“Dalam revisi fatwa planologi tahun 2008, secara tegas dinyatakan bahwa lahan pendidikan seluas 4.946 meter persegi harus diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam,” ujarnya saat membacakan dakwaan pada persidangan kala itu.
Namun kewajiban tersebut tidak dilaksanakan. Jaksa menyebut, terdakwa justru menandatangani perjanjian kompensasi dengan Ketua Yayasan Suluh Mulia Pionir, Kim Kwang Jin, pada 23 September 2008.
“Terdakwa menerima uang sebesar Rp 494.600.000 sebagai kompensasi atas penguasaan lahan pendidikan tersebut,” kata jaksa.
Pada 2010, lahan itu kemudian dihibahkan kepada yayasan melalui Akta Hibah Nomor 13 Tahun 2010. Sebagian dana kompensasi tersebut, menurut jaksa, digunakan untuk operasional perusahaan dan kebutuhan pribadi terdakwa.
Jaksa juga mengungkap bahwa pada 2017 lahan tersebut telah beralih status menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama Yayasan Suluh Mulia Pionir. Pada 2018, yayasan mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) untuk bangunan pendidikan, meski status lahan masih tercatat sebagai fasum-fasos.
Pemerintah Kota Batam disebut telah dua kali melayangkan permintaan penyerahan lahan, yakni melalui surat tertanggal 22 Oktober 2018 dan 10 September 2020, namun hingga perkara ini diproses ke pengadilan, lahan tersebut belum diserahkan.
Dalam perkara ini, jaksa mengajukan puluhan barang bukti berupa dokumen, antara lain akta hibah, sertifikat HGB, dokumen yayasan, IMB, dokumen pajak, serta daftar aset PSU Pemerintah Kota Batam hingga 2024.
Jaksa meminta agar seluruh masa penahanan terdakwa diperhitungkan dan terdakwa tetap berada dalam tahanan hingga perkara berkekuatan hukum tetap. Terdakwa juga dibebani biaya perkara sebesar Rp 5.000. (Hendra S)













