DETEKSI.co – Medan, Untuk pertama kalinya sejak berdiri, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian permohonan uji formil. Majelis Hakim Konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil. Untuk itu, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat.
Demikian Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dibacakan dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis (25/11/2021) siang. Dalam Amar Putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan yang diajukan oleh Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, serta Muchtar Said.
“Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan’. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini,” ucap Anwar yang dalam kesempatan itu didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam putusan yang berjumlah 448 halaman tersebut, Mahkamah juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Tangguhkan Kebijakan
Selain itu, MK pun memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Anwar pun menyampaikan Mahkamah menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Cacat Formil
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang. Kemudian, dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden.
“(Pembentukan UU Cipta Kerja) bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil,” tegas Suhartoyo.
Hindari Ketidakpastian Hukum
Mahkamah pun menjelaskan alasan UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Hal tersebut dikarenakan Mahkamah hendak menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan. Kemudian, Mahkamah mempertimbangkan harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Di samping itu, lanjut Suhartoyo, juga harus mempertimbangkan tujuan strategis dari dibentuknya UU Cipta Kerja.
“Oleh karena itu, dalam memberlakukan UU 11/2020 yang telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat menimbulkan konsekuensi yuridis terhadap keberlakuan UU 11/2020 a quo, sehingga Mahkamah memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU 11/2020 berdasarkan tata cara pembentukan undang-undang yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku dan standar di dalam membentuk undang-undang omnibus law yang juga harus tunduk dengan keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan undang-undang yang telah ditentukan,” tegas Suhartoyo.
Tidak Perlu Nomenklatur Baru
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyebutkan bahwa Mahkamah menemukan fakta bahwa penamaan UU Cipta Kerja ternyata menggunakan nama baru yaitu UU tentang Cipta Kerja. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memahami persoalan para Pemohon yang menyebut UU Cipta Kerja merupakan UU baru atau UU perubahan. Terlebih, dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Cipta Kerja dirumuskan pula nomenklatur Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
“Dengan adanya penamaan baru suatu undang-undang yaitu UU tentang Cipta Kerja yang kemudian dalam Bab Ketentuan Umum diikuti dengan perumusan norma asas, tujuan dan ruang lingkup yang selanjutnya dijabarkan dalam bab dan pasal-pasal terkait dengan ruang lingkup tersebut, maka UU 11/2020 tidaklah sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal demikian sesungguhnya menunjukkan norma yang dibentuk tersebut seolah-olah sebagai undang-undang baru. Namun, substansi terbesar dalam UU 11/2020 telah ternyata adalah merupakan perubahan terhadap sejumlah undang-undang,” terang Enny.
Enny menambahkan jika yang dilakukan adalah perubahan suatu UU, tidak perlu dibuat ketentuan umum yang berisi nomenklatur baru, yang kemudian diikuti dengan rumusan asas, tujuan, serta ruang lingkup, kecuali jika hal-hal yang akan diubah dari suatu undang-undang mencakup materi tersebut. Sebab, lanjutnya, dari sejumlah UU yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja, UU asli/asalnya masing-masing masih tetap berlaku—walaupun tidak ditegaskan mengenai keberlakuan UU lama tersebut dalam UU Cipta Kerja. Sementara, dalam UU yang lama telah ditentukan pula asas-asas dan tujuan dari masing-masing UU yang kemudian dijabarkan dalam norma pasal-pasal yang diatur dalam masing-masing UU tersebut.
Tidak Dapat Diakses Masyarakat
Kemudian, berkenaan dengan asas keterbukaan, Suhartoyo menjelaskan dalam persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan UU Cipta Kerja.
“Sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU 11/2020. Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU cipta kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal berdasarkan Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis,” papar Suhartoyo.
Pendapat Berbeda
Dalam putusan tersebut, empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, dan Manahan M.P. Sitompul. Keempatnya menyatakan meskipun UU Ciptaker memiliki banyak kelemahan dari sisi legal drafting, namun UU ini sangat dibutuhkan saat ini. “Sehingga menurut kami, seharusnya permohonan pengujian formil UU Ciptaker harus dinyatakan ditolak,” ujar Arief membacakan pendapat berbeda.
Selain itu, keempatnya beralasan tahapan dibentuknya UU Ciptaker sudah sangat baik dan cermat dilihat dari aspek filosofis, sosiologis maupun pertimbangan yuridis untuk mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945 yang merupakan arahan fundamental mengenai visi, misi, dan tujuan nasional yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada sidang yang sama, Mahkamah juga memutus sebelas perkara lainnya terkait pengujian undang-undang, yakni Perkara Nomor 87, 101, 103, 105, 107, 108/PUU-XVIII/2020, serta Perkara Nomor 3, 4, 5, 6, 55/PUU-XIX/2021. Seluruh perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Hal ini karena UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Sehingga pengujian materiil UU tersebut tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaan karena kehilangan objek permohonan.
Untuk diketahui, sebelumnya Mahkamah telah menggelar sidang untuk kedua belas perkara. Perkara Nomor 87/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Pimpinan Pusat (DPP) Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) yang diwakili oleh Deni Sunarya (Ketua Umum) dan Muhammad Hafidz (Sekretaris Umum). Pemohon mempermasalahkan konstitusionalitas aturan perjanjian kerja antarwaktu sebagaimana diatur dalam Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29, dan angka 44 UU Cipta Kerja.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 101/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang diwakili oleh Said Iqbal, dkk. Para pemohon perkara tersebut mengajukan uji materi terhadap Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Cipta Kerja. Para Pemohon menyatakan bahwa UU Cipta Kerja menimbulkan ketidakpastian hukum serta menghilangkan dan/atau menghalangi hak konstitusional para Pemohon. Pemohon mendalilkan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (5), Ayat (6), dan Ayat (7); Pasal 27 Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2); Pasal 28E Ayat (3), dan Pasal 28I UUD 1945. Kemudian, permohonan Perkara Nomor 103/ PUU-XVIII/2020 diajukan Elly Rosita Silaban (Pemohon I) dan Dedi Hardianto (Pemohon II) dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Para Pemohon menguji secara formil Bab IV UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU Bab IV UU Bagian Kedua UU Cipta Kerja, yakni Pasal 42 ayat (3) huruf c, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU Cipta Kerja.
Sedangkan para Pemohon Perkara Nomor 105/PUU-XVIII/2020 adalah Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan 12 Pemohon lainnya. Mereka melakukan pengujian formil dan pengujian materiil UU Cipta Kerja antara lain Bab IV Bagian Kedua: 1) Pasal 81 angka 1 (Pasal 13 ayat (1) huruf c UU No.13/2003) mengenai pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja perusahaan. Selain itu Pasal 81 angka 2 (Pasal 14 ayat (1) UU 13/2003) bahwa lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Selanjutnya, Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 108/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Ignatius Supriyadi, Sidik dan Janteri berprofesi sebagai Advokat. Ketiganya menguji Pasal 6, Pasal 17 angka 16, Pasal 24 angka 44, Pasal 25 angka 10, Pasal 27 angka 14, Pasal 34 angka 2, Pasal 41 angka 25, Pasal 50 angka 9, Pasal 52 angka 27, Pasal 82 angka 2, Pasal 114 angka 5, Pasal 124 angka 2, Pasal 150 angka 31, Pasal 151 dan Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja.
Berikutnya, permohonan Nomor 4/PUU-XIX/2021 diajukan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya. Permohonan ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian UU di MK. Para Pemohon mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja.
Lainnya, Para Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Sudarto dan Yayan Supyan selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum pada Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI). 59, Pasal 61 ayat (1) huruf c, Pasal 61A, Pasal 164A, Pasal 156 Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerja. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan berlakunya Bab IV UU Cipta Kerja yang oleh pemerintah dan menjadi pengetahuan masyarakat disebut klaster ketenagakerjaan, dinilai sangat merugikan hak-hak konstitusional pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang diatur dalam UUD 1945.
Sedangkan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 4/PUU-XIX/2021. Para Pemohon melalui tim kuasa hukumnya mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja. Sedangkan Perkara Nomor 5/PUU-XIX/2021 ini dimohonkan oleh Putu Bagus Dian Rendragraha (Pemohon I) dan Simon Petrus Simbolon (Pemohon II) merupakan dua penyandang disabilitas. Dalam perkara ini, para Pemohon melakukan uji formil dan materiil Pasal 24 angka 4, Pasal 24 angka 13, Pasal 24 angka 24, Pasal 24 angka 28, Pasal 61 angka 7, Pasal 81 angka 15, dan Penjelasan Pasal 55 angka 3 UU UU Cipta Kerja terhadap UUD 1945.
Kemudian para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat prosedur. Untuk itulah, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan membatalkan keberlakuan UU tersebut.
Terakhir, permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 55/PUU-XIX/2021 ini dimohonkan oleh Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HakA) yang diwakili oleh Farwiza, dkk. Menurut Pemohon, penghapusan keterlibatan Pemohon dalam memberi masukan terhadap dokumen Amdal, sebagaimana ketentuan Pasal 26 ayat (3) UU 32/2009 namun telah diubah oleh Pasal 22 angka 5 UU11/2020, jelas merupakan kerugian atau potensi kerugian konstitusional Pemohon untuk mencegah dan melindungi kerusakan lingkungan akibat dari proyek pembangun atau proyek skala besar yang wajib Amdal.(Red)
Penulis: Nano Tresna A./Lulu A.
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Raisa Ayudhita
Sumber, mkri.id